Bekantan, berjuang melawan kepunahan (foto:Hakeem) |
Seekor monyet bekantan kecil mencoba
mengejar kelompoknya yang seolah berlari di cabang-cabang pohon di
tepian sebuah sungai di Kalimantan. Di atas pohon tepat di tepian sungai
itu, mereka berhenti. Sungai mengalir perlahan. Warnanya coklat. Monyet
dewasa tak ragu naik ke dahan lebih tinggi, lalu dengan gaya khas
melompat ke seberang. Melayang di udara, tangan mereka menggapai-gapai
ke depan mencari pegangan.
Tap! Akhirnya memegang ujung ranting
sebuah pohon di seberang. Lompatan sempurna, seolah terukur, gerak
lambat mereka ketika melayang di udara sangat indah dan elegan, seolah
puisi dari hutan belantara.
Nasalis senang hidup
dekat wilayah berair di dekat muara sungai atau hutan bakau. Di tempat
seperti itu, tunas-tunas baru selalu tumbuh di pepohonan. Makanan
berlimpah di sana. Menurut Mohamad Soenjoto, seorang ahli biologi,
”Bekantan senang makan tunas daun bakau, juga memakan kepiting, atau
ikan kecil.”
Tapi pemangsa mereka juga tak kurang. Di sungai yang
diceritakan di atas, misalnya, buaya-buaya menanti monyet ceroboh yang
tak tahu strategi menyeberang. Begitulah, seperti tampak dalam berbagai
film dokumenter, ketika seekor monyet menyeberang, jalur lompatannya
akan menyerupai lemparan batu: naik sedikit lalu melayang turun.
Itu
sebabnya, mereka naik ke atas dahulu baru melompat. Bila kurang kuat,
maka bukannya cabang kayu di seberang yang mereka raih, tapi mereka akan
jatuh tercebur ke air sungai. Tak masalah kalau toh tercebur. Bekantan
bisa berenang, bahkan kalau perlu, mereka bisa juga menyelam. Jari-jari
mereka punya selaput kecil, dan hidung mereka, menurut keterangan para
ahli biologi, memiliki katup penutup. Tetapi bekantan tak ceroboh
berenang di sembarang tempat. Di sudut-sudut Pulau Kalimantan, di tepian
sungai-sungai, terutama dekat muara. Si hidung panjang berdampingan
dengan para buaya, yang siap memangsa monyet mana pun yang tak kuat
menyeberang.
Namun bukanlah para pemangsa yang menjadi
keprihatinan utama. Di tengah hutan yang sedang berubah menjadi lahan
tanpa pepohonan, karena kayunya dibutuhkan untuk memperkuat ekonomi
daerah dan nasional, atau sebagai bahan pemasukan penduduk lokal, monyet
mancung ini berjuang melawan kepunahan. Ya, si londo ini memang sedang
menghadapi perubahan di lingkungan habitatnya dan hal ini berpengaruh
pada populasinya.
Kepala Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam
(BKSDA) Batulicin, Kalimantan Selatan, Suwandi mengatakan, salah satu
penyebab berkurangnya populasi bekantan adalah perambahan hutan mangrove
dan kualitas hutan mangrove. “Bahkan ada bekantan yang berkeliaran ke perkampungan penduduk karena kesulitan mendapatkan makanan di hutan,” kata Suwandi.
Rusliandi,
seorang mahasiswa Banjarmasin, menyebutkan bahwa ada peneliti yang
berani menyatakan bekantan akan punah 14 tahun lagi.
“Semuanya
berubah, bekantan tampaknya tak akan bisa bertahan.” Bisa jadi dia
salah, bisa jadi dia benar, bisa jadi dia mengarang cerita tanpa dasar.
Yang
jelas, menurut berbagai peneliti, kawasan hutan yang menjadi tempat
berkembang biak bekantan tersebut, memang semakin berkurang. Sekarang
ini masih ada sejumlah tempat yang menjadi habitat hidup bekantan, dan
boleh dikunjungi para wisatawan.
Data Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Kalsel pada 2007 menunjukkan bahwa populasi si hewan
hidung panjang ini diperkirakan masih mencapai sekitar 5.010 ekor.
Di
cagar alam Selat Sebuku, Kabupaten Kota-baru terdapat 3.500 ekor, di
suaka margasatwa Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut (Tala), 1.200 ekor
bekantan berkelana di hutan-hutan. Di Kuala Lupak Tabunganen
Kabupaten Barito Kuala tinggal 150 ekor, pembuatan tambak dan aktivitas
warga di Kuala Lupak, mengusik bekantan sehingga keluar dari kawasan
konservasi untuk mencari makan. Di Pulau Kaget, Kalimantan Selatan, bekantan kini tinggal 100 ekor, menurun menjadi sepertiga dalam waktu lima belas tahun. Kawasan
mangrove di lokasi wisata Taman Alam Pulau Kembang, Barito Kuala,
Kalimantan Selatan, merupakan habitat aneka fauna seperti lutung (Presbytis cristata), kera abu-abu (Macaca fascicularis), serta fauna kelompok elang dan bangau. Kini hanya tinggal 10 ekor bekantan yang hidup di sana.
Pulau
kembang berjarak dua kilometer dari Banjarmasin namun masuk wilayah
Kabupaten Barito Kuala. Pulau yang berada tepat di tengah sungai Barito
ini ditempuh sekitar seperempat jam menggunakan perahu motor dari
Banjarmasin.
Di Pulau Bakut, laporan dari lima tahun lalu
menyebutkan bahwa ada 50 ekor bekantan di Pulau Bakut, Kalimantan
Selatan, kini hanya tersisa sekitar 12 ekor.
Memang ironis, padahal tempat-tempat itu berkali-kali dipromosikan sebagai tempat perlindungan bagi satwa langka bekantan.
Bekantan
memang sedang menderita, seperti halnya berbagai satwa langka lainnya
yang perlu dilindungi. Pepohonan habitatnya ditebang, atau diseruduk
tongkang pengangkut batu bara, seolah tak ada yang peduli. Itulah
sebabnya saat ini dipasang tonggak-tonggak pelindung habitat mereka di
berbagai tempat.
Jika ada tongkang yang sembarangan melaju, mereka
tak akan lagi menyeruduk bakau, namun akan tertumbuk pada tonggak
pelindung. Inilah salah satu usaha melindungi habitat satwa yang menjadi
kebanggaan Kalimantan, karena hanya di Pulau Kalimantan mereka
ditemukan.
Di wilayah Tarakan, sebuah hutan bakau yang terletak
dekat pusat kota menjadi tempat perlindungan bagi satwa ini. Ada
jembatan kayu dibangun menyusuri hutan seluas 21 hektar.
Pada
awalnya tempat ini hanya seluas 9 hektar, namun dengan keputusan Wali
Kota Tarakan, hampir sepuluh tahun lalu, wilayah konservasi ini
berkembang menjadi indah seperti sekarang.
Hutan ini adalah
kebanggaan kota Tarakan, hampir semua warganya dengan bangga
menceritakan hutan wisata yang sampai saat ini merupakan satu-satunya
kawasan konservasi mangrove di Indonesia yang lokasinya berada di pusat
kota.
”Tidak ada kota yang seperti ini di Indonesia,” kata Muhamad
Rusli, seorang warga Tarakan, yang dengan santai menjadi pemandu kami
saat berkunjung ke tempat itu.
Di atas kami, Jack, nama salah satu
‘pemuka’ komunitas bekantan di tempat itu berlari, seolah meluncur di
atas batang-batang pohon bakau yang menjulang. Perutnya yang buncit tak
mengganggu gerak lincahnya.
Rusli tak terlalu salah, bayangkan
saja, sesudah mengunjungi pasar tradisional atau pusat pembelanjaan,
anda bisa menikmati kesegaran hutan, lengkap dengan penghuninya yang
langka. Kawasan ini menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik.
Tak
heran bila Wali Kota Jusuf S Kasim yang merencanakan dan meresmikan
KKMB (Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan) ini, terus dikenang
sebagai Wali Kota yang memberi kebanggaan pada kota di batas Malaysia.
Tak heran pula, bila Tarakan sempat mendapat penghargaan atas
prestasinya ini.
Sebuah renungan bagi masyarakat dan para pemimpin
di daerah-daerah: bila Anda melindungi satwa dan lingkungan dengan cara
yang cerdas, Anda akan didukung dan dikenang dengan cara yang indah.
Sumber : Kompas.com
No comments:
Post a Comment